Thursday 1 September 2016

100 Hari Penantianku "Cerpen"

SEBUAH PENANTIAN
Oleh : Nining Kasni

“Anin… please dech mau sampai kapan kamu kaya gini?” bentak anita  menghapiri aku tiba-tiba. Aku hanya memandangnya sesaat, dan kembali ke aktifitas aku sebelumnya membaca.
“Anindya… kamu taukan arti kesabaran itu ada batasnya?” Widya ikut menimpali dengan nada menahan marah. Aku tetap membaca. Ini adalah hari entah minggu kesekian mereka menanyakan hal yang sama padaku, namun aku tetap seperti ini seperti waktu-waktu sebelumnya, setelah kepergian Dewanantha.
 “Anin… kamu pikir Dewanantha akan datang menemui kamu dengan membawa setangkai bunga dan mohon maaf kepada kamu karena dia pergi tanpa pamit sama kamu?!” Anita kembali menasehatiku.
“Anin… kamu taukan kalau Dewananthamu itu bukan laki-laki baik seperti yang selalu kamu banggakan.!” Anita penuh emosi.
“Nggak Wid, Nita. Dewanantha itu baik kok..?” jawabku lirih.
“Kalau baik ngapain dia pergi begitu aja ninggalin kuliahnya, keluarganya? Itu kamu bilang baik.” Widya memprotes ucapanku.
“Kemarin aku ke rumahnya bertemu mamanya.Mamanya bilang Dewanantha telepon kalau dia hari ini akan pulang” Jawabku lirih
“Apaaa!!... kamu masih suka ke rumahnya menemui ibunya, menanyakan hal sama apakah ada kabar dari Dewanantha?“ tukas Anita menatap ke arahku. Aku hanya menunduk.
“Please Anindya lupakan Dewanantha… kamu harus move on.. Dewanantha.” Widya mulai emosi.
“Wid… nggak semudah itu melupakan seseorang yang bener-bener kita sayangin…” Aku mencoba menjelaskan
“TERSERAH…!!! Aku pulang. Silakan kamu tunggu Dewananthamu itu sampai sore. Semoga saja dia datang sesuai keinginan kamu.” Widya berlalu meninggalkan aku.
“Aku juga pulang ya Nin…” Anita menatapku ibu dan pergi meninggalkan aku menyusul Widya.
Aku tak tahu apakah aku egois atau aku setia, tapi aku hanya berusaha meyakinkan diri aku bahwa Dewanantha akan kembali kuliah, kembali ke kampus, kembali bersamaku.
Hari ini seperti hari-hari sebelumnya, atau seperti hari kemarin aku tetap duduk di bangku taman kampus, bangku yang biasa aku duduk bersama Dewanantha. Tempat kami diskusi tentang buku yang baru kami baca, film yang baru kami tonton, tentang perkuliahan tentang teman-teman di kelas. Tempat kami bercanda atau sekedar cerita tentang dunia tentang hari itu tentang semua… antara aku dan Dewanantha. Bangku ini penuh cerita. Bangku ini penuh kisah. Bangku di sudut taman kampus dibawah pohon cerry yang dibuat seolah sengaja memang untuk aku dan Dewanantha.
Hari ini aku duduk sambil menulis Diary.. aku menuliskan dalam buku tersebut tertulis dalam buku ini adalah hari ke 100 Dewanantha pergi tanpa sepatah kata, tanpa berita, tanpa pesan, tanpa apapun…aku hanya menuliskan kari ke 100… aku terdiam…
“Hari ke 100…??” gumamku dalam hati.
“Ant… kamu kemana?” tanyaku pada diri sendiri
“sudah 100 hari kamu nggak disini, nggak duduk di kursi ini?” aku bergumam dalam hati sambil meraba tulisan dalam diary.
“Aku sudah begitu banyak cerita untukmu. Sudah begitu banyak buku yang aku baca untuk diskusi dengan kamu… kamu kemana Ant…? Tetap bertanya dalam hati pada diri sendiri.
“Si putih kucing kesayangankuku yang suka lari mengejarmu sambil mengibaskan ekornya jika kamu main ke rumah sudah punya teman, kucing tetangga yang wananya coklat muda,? “ Aku terus meraba diary tanpa menulis apapun selain kalimat awal “Hari ke 100” Ant… bi Sumi pembantu di rumahku suka nanyain kamu nggak ada yang muji makanan hasil uji coba dari resep baru yang dia buat. Milea adikku juga nanyain kamu… Ant… kapan kamu pulang. Aku akan selalu menunggumu meski sampai hari ke 1000. Aku akan selalu disini di kursi ini meski sampai hari ke 1000.” Aku tetap hanya meraba lembaran kosong diaryku
Aku tutup Diaryku yang tak satu kalimatpun ku tulis di dalamnya selain kalimat “hari ke 100”. Aku pejamkan mataku sambil kupeluk diaryku. Kurasakan semilir angin senja disertai cahaya senja diantara celah-celah daun cerry yang menembus daun-daun menyikaukan kedua mataku. Aku rasakan air hangat mengalir dari kedua sudut mataku. Aku menangis menahan rindu yang tak berujung… sambil ku sebut nama”Dewanantha aku rindu kamu” dengan lamat yang begitu dalam dari sudut hatiku terdalam.
Beberapa saat kemudian aku merasakan kesejukan, tak kurasakan silau cahaya senja disela daun-daun cerry menyilaukan mataku. Aku merasakan ada desah nafas seseorang yang berdiri di hadapanku menutupi cahaya yang menyilaukan aku. Aku merasakan ada seseorang berdiri di hadapanku. Aku ingin membuka mataku. Aku takut membuka… aku takut. Aku mencoba membuka mataku… tiba-tiba kurasakan jari jemari seseorang menghapus kedua sudut mataku dengan lembut. Lamat-lamatku dengar suara seseorang yang tak akan pernah aku lupa seumur hidupku.
“Suara itu… suara yang kurindukan selama 100 hari ini.” Aku berdebar tak berani ku  buka mataku aku takut itu ilusi.
“kucoba sentuh jari itu… aku rasakan betapa kuatnya jari itu… jari jemari yang selalu membelai rambutku dengan lembut.” Dengan gemetar aku pegang kedua tangan itu.
“Bukan ini bukan mimpi, ini bukan ilusi.?” Pikirku dalam hati. Dengan debaran jantungku yang semakin tak menentu kucoba buka kedua mataku dengan perlahan.
“Nin…” suara itu begitu lirih hampir tak terdengar.. tapi aku tahu itu suaranya… suara yang aku rindukan selama 100 hari ini. Jantungku berdebar kencang. Aku rasakan air mengalir dari kedua sudut mataku. Jari itu kembali menghapus air mata yang mengalir, Aku pegang tanga itu, terhenti sesaat. Ku beranikan diri ku buka mataku perlahan. Aku berdiri di hadapannya… Dihadapan orang yang selalu aku rindukan selama 100 hari ini. Aku tatap seluruh wajahnya. Aku sentuh wajahnya. Hangat terasa mengalir di seluruh aliran darahku. Ini nyata… ini bukan mimpi, ini bukan ilusi. Aku sentuh kedua matanya dengan jari-jariku, aku sentuh bibirnya dengan jari-jariku. Aku tatap dalam-dalam kedua bola matanya dengan tatapan penuh rindu.
“Ant…” suaraku lirih menyebut namanya dengan seluruh jiwaku yang penuh rindu selama 100 hari.
“Hmmm… kenapa Nin…” dia sunggingkan senyum khasnya sambil menatapku dengan dalam. Tatapan itu yang selalu kurindukan 100 hari ini. Suara itu yang selalu kurindukan 100  hari ini.
“Ant… “hanya kata itu yang sanggup aku ucapkan sambil tak lepas mataku menatap seluruh wajahnya.
“Iyaa… Maafin Ant ya… karena pergi tanpa kata-kata..” jelas dia sambil mengahapus kedua pipiku yang penuh air mata. Dia tarik tubuhku kedalam pelukannya. Aku menangis dalam pelukannya. Aku peluk dia dengan segenap kerinduanku. Dewanantha memelukku dengan penuh kasih , kurasakan kembali belaian tangannya di rambutku. Kurasakan kembali wangi tubuhnya dalam pelukanku. Aku tak harus menunggu 1000 tahun tuk memeluk dia, tah perlu 1000 tahun tuk aku dengar lagi suara indah nya, desah nafasnya penuh damai. Tak perlu 1000 tahun tuk aku bercerita tentang semua yang ku lalui. Dewananthaku telah kembali, Kembali disampingku dengan segenap kasih sayangnya. Penantian 100 hariku kini telah berujung. Ku peluk dia dengan segenap rindu dan sayangku. Dewananthaku