SEBUAH PENANTIAN
Oleh : Nining Kasni
“Anin… please dech mau sampai kapan
kamu kaya gini?” bentak anita menghapiri
aku tiba-tiba. Aku hanya memandangnya sesaat, dan kembali ke aktifitas aku
sebelumnya membaca.
“Anindya… kamu taukan arti kesabaran
itu ada batasnya?” Widya ikut menimpali dengan nada menahan marah. Aku tetap
membaca. Ini adalah hari entah minggu kesekian mereka menanyakan hal yang sama
padaku, namun aku tetap seperti ini seperti waktu-waktu sebelumnya, setelah
kepergian Dewanantha.
“Anin…
kamu pikir Dewanantha akan datang menemui kamu dengan membawa setangkai bunga
dan mohon maaf kepada kamu karena dia pergi tanpa pamit sama kamu?!” Anita kembali
menasehatiku.
“Anin… kamu taukan kalau Dewananthamu
itu bukan laki-laki baik seperti yang selalu kamu banggakan.!” Anita penuh
emosi.
“Nggak Wid, Nita. Dewanantha itu baik
kok..?” jawabku lirih.
“Kalau baik ngapain dia pergi begitu
aja ninggalin kuliahnya, keluarganya? Itu kamu bilang baik.” Widya memprotes
ucapanku.
“Kemarin aku ke rumahnya bertemu
mamanya.Mamanya bilang Dewanantha telepon kalau dia hari ini akan pulang”
Jawabku lirih
“Apaaa!!... kamu masih suka ke rumahnya
menemui ibunya, menanyakan hal sama apakah ada kabar dari Dewanantha?“ tukas Anita
menatap ke arahku. Aku hanya menunduk.
“Please Anindya lupakan Dewanantha…
kamu harus move on.. Dewanantha.”
Widya mulai emosi.
“Wid… nggak semudah itu melupakan
seseorang yang bener-bener kita sayangin…” Aku mencoba menjelaskan
“TERSERAH…!!! Aku pulang. Silakan kamu
tunggu Dewananthamu itu sampai sore. Semoga saja dia datang sesuai keinginan
kamu.” Widya berlalu meninggalkan aku.
“Aku juga pulang ya Nin…” Anita
menatapku ibu dan pergi meninggalkan aku menyusul Widya.
Aku tak tahu apakah aku egois atau aku
setia, tapi aku hanya berusaha meyakinkan diri aku bahwa Dewanantha akan
kembali kuliah, kembali ke kampus, kembali bersamaku.
Hari ini seperti hari-hari sebelumnya,
atau seperti hari kemarin aku tetap duduk di bangku taman kampus, bangku yang
biasa aku duduk bersama Dewanantha. Tempat kami diskusi tentang buku yang baru
kami baca, film yang baru kami tonton, tentang perkuliahan tentang teman-teman
di kelas. Tempat kami bercanda atau sekedar cerita tentang dunia tentang hari
itu tentang semua… antara aku dan Dewanantha. Bangku ini penuh cerita. Bangku
ini penuh kisah. Bangku di sudut taman kampus dibawah pohon cerry yang dibuat
seolah sengaja memang untuk aku dan Dewanantha.
Hari ini aku duduk sambil menulis
Diary.. aku menuliskan dalam buku tersebut tertulis dalam buku ini adalah hari
ke 100 Dewanantha pergi tanpa sepatah kata, tanpa berita, tanpa pesan, tanpa
apapun…aku hanya menuliskan kari ke 100… aku terdiam…
“Hari ke 100…??” gumamku dalam hati.
“Ant… kamu kemana?” tanyaku pada diri
sendiri
“sudah 100 hari kamu nggak disini,
nggak duduk di kursi ini?” aku bergumam dalam hati sambil meraba tulisan dalam
diary.
“Aku sudah begitu banyak cerita
untukmu. Sudah begitu banyak buku yang aku baca untuk diskusi dengan kamu… kamu
kemana Ant…? Tetap bertanya dalam hati pada diri sendiri.
“Si putih kucing kesayangankuku yang
suka lari mengejarmu sambil mengibaskan ekornya jika kamu main ke rumah sudah
punya teman, kucing tetangga yang wananya coklat muda,? “ Aku terus meraba
diary tanpa menulis apapun selain kalimat awal “Hari ke 100” Ant… bi Sumi
pembantu di rumahku suka nanyain kamu nggak ada yang muji makanan hasil uji
coba dari resep baru yang dia buat. Milea adikku juga nanyain kamu… Ant… kapan
kamu pulang. Aku akan selalu menunggumu meski sampai hari ke 1000. Aku akan
selalu disini di kursi ini meski sampai hari ke 1000.” Aku tetap hanya meraba
lembaran kosong diaryku
Aku tutup Diaryku yang tak satu
kalimatpun ku tulis di dalamnya selain kalimat “hari ke 100”. Aku pejamkan
mataku sambil kupeluk diaryku. Kurasakan semilir angin senja disertai cahaya
senja diantara celah-celah daun cerry yang menembus daun-daun menyikaukan kedua
mataku. Aku rasakan air hangat mengalir dari kedua sudut mataku. Aku menangis
menahan rindu yang tak berujung… sambil ku sebut nama”Dewanantha aku rindu
kamu” dengan lamat yang begitu dalam dari sudut hatiku terdalam.
Beberapa saat kemudian aku merasakan
kesejukan, tak kurasakan silau cahaya senja disela daun-daun cerry menyilaukan
mataku. Aku merasakan ada desah nafas seseorang yang berdiri di hadapanku
menutupi cahaya yang menyilaukan aku. Aku merasakan ada seseorang berdiri di
hadapanku. Aku ingin membuka mataku. Aku takut membuka… aku takut. Aku mencoba
membuka mataku… tiba-tiba kurasakan jari jemari seseorang menghapus kedua sudut
mataku dengan lembut. Lamat-lamatku dengar suara seseorang yang tak akan pernah
aku lupa seumur hidupku.
“Suara itu… suara yang kurindukan
selama 100 hari ini.” Aku berdebar tak berani ku buka mataku aku takut itu ilusi.
“kucoba sentuh jari itu… aku rasakan
betapa kuatnya jari itu… jari jemari yang selalu membelai rambutku dengan
lembut.” Dengan gemetar aku pegang kedua tangan itu.
“Bukan ini bukan mimpi, ini bukan
ilusi.?” Pikirku dalam hati. Dengan debaran jantungku yang semakin tak menentu
kucoba buka kedua mataku dengan perlahan.
“Nin…” suara itu begitu lirih hampir
tak terdengar.. tapi aku tahu itu suaranya… suara yang aku rindukan selama 100
hari ini. Jantungku berdebar kencang. Aku rasakan air mengalir dari kedua sudut
mataku. Jari itu kembali menghapus air mata yang mengalir, Aku pegang tanga
itu, terhenti sesaat. Ku beranikan diri ku buka mataku perlahan. Aku berdiri di
hadapannya… Dihadapan orang yang selalu aku rindukan selama 100 hari ini. Aku
tatap seluruh wajahnya. Aku sentuh wajahnya. Hangat terasa mengalir di seluruh
aliran darahku. Ini nyata… ini bukan mimpi, ini bukan ilusi. Aku sentuh kedua
matanya dengan jari-jariku, aku sentuh bibirnya dengan jari-jariku. Aku tatap dalam-dalam
kedua bola matanya dengan tatapan penuh rindu.
“Ant…” suaraku lirih menyebut namanya
dengan seluruh jiwaku yang penuh rindu selama 100 hari.
“Hmmm… kenapa Nin…” dia sunggingkan
senyum khasnya sambil menatapku dengan dalam. Tatapan itu yang selalu
kurindukan 100 hari ini. Suara itu yang selalu kurindukan 100 hari ini.
“Ant… “hanya kata itu yang sanggup aku
ucapkan sambil tak lepas mataku menatap seluruh wajahnya.
“Iyaa… Maafin Ant ya… karena pergi
tanpa kata-kata..” jelas dia sambil mengahapus kedua pipiku yang penuh air
mata. Dia tarik tubuhku kedalam pelukannya. Aku menangis dalam pelukannya. Aku
peluk dia dengan segenap kerinduanku. Dewanantha memelukku dengan penuh kasih ,
kurasakan kembali belaian tangannya di rambutku. Kurasakan kembali wangi
tubuhnya dalam pelukanku. Aku tak harus menunggu 1000 tahun tuk memeluk dia,
tah perlu 1000 tahun tuk aku dengar lagi suara indah nya, desah nafasnya penuh
damai. Tak perlu 1000 tahun tuk aku bercerita tentang semua yang ku lalui.
Dewananthaku telah kembali, Kembali disampingku dengan segenap kasih sayangnya.
Penantian 100 hariku kini telah berujung. Ku peluk dia dengan segenap rindu dan
sayangku. Dewananthaku